Panganan kedelai transgenik bebas beredar di pasaran Indonesia. Bukan karena rasanya yang enak atau murahnya, namun ketiadaan peraturan dan petunjuk teknis dianggap sebagai legitimasi beredarnya produk ini. Meski tanpa adanya tekanan dari para petani lokal.
Adalah Indonesia, yang selama ini menjadi negara konsumen pangan hasil rekayasa genetika ini. Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak tahun 2001, 2002, dan 2005, terhadap beberapa produk diantaranya panganan yang selama ini merupakan menu kegemaran para konsumen warteg alias ‘warung tegal’, tahu dan tempe. Dari kedua panganan itu ditemukan kandungan kedelai yang merupakan hasil rekayasa genetika.
“Dikhawatirkan, jangan-jangan kedelai itu membuat konsumen keracunan dan gatal-gatal karena sudah disisipi gen bakteri dalam inti selnya. Alergi timbul karena ada protein baru yang terbentuk dalam biji kedelai transgenik. Protein baru ini masih asing bagi konsumen protein kedelai biasa,” jelas Ilyani S. Andang, peneliti dari Departemen Riset YLKI.
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika, disebutkan sebelum produk beredar, perlu diberlakukan pengkajian resiko dan pengujian terlebih dahulu. Yang meliputi teknik perekayasaan, efikasi dan persyaratan keamanan hayati. Untuk proses itu, peraturan pemerintah tadi juga sudah menunjuk Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHKP) di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun sampai sekarang, tim ini belum juga terbentuk. Sehingga produk rekayasa genetika bebas beredar di pasaran.
“Disini seharusnya dibentuk Komisi Keamanan Hayati dan Pangan, Balai Kliring dan tim Teknis. Yang ada baru Balai Kliringnya. Sampai sekarang belum ada kelanjutannya,” kata Ilyani S. Andang.
Pangan yang mengandung materi rekayasa genetika menurut hasil penelitian YLKI adalah produk pangan impor seperti jagung, kedelai, dan kentang olahan. “Kebanyakan kedelai transgenik datang dari Amerika yang menguasai 60 persen pasar kedelai dunia. Sedangkan kebutuhan kedelai kita 70 persennya tergantung dari impor,” ujar Ilyani.
Umumnya kedelai lokal mudah dibedakan secara fisik dengan kedelai impor hasil rekayasa genetika. Kedelai transgenik yang beredar umumnya adalah jenis roundup ready yang besar-besar dan bagus butirannya. Sedangkan kedelai lokal umunya kecil-kecil. Namun jika sudah becampur menjadi produk olahan seperti tahu, tempe dan kecap, tanpa analisis laboratoroum sulit untuk diketahui apakah produk transgenik atau tidak.
Prosedur pengamanan yang juga penting adalah pelabelan. Sampai saat ini belum ada aturan bagaimana sistem dan prosedur pelabelan untuk pangan transgenic. “Misal kalau di luar negeri, materi transgenik dibawah 1 persen tidak perlu label, tapi kalau diatas 5 persen perlu. Produk transgenik yang sebagian besar impor ini bahkan saat kini telah bercampur dengan produk lokal sehingga sulit dipisahkan dan dibedakan. Lagi-lagi melanggar PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang mengharuskan produk transgenik diberi label sebelum diedarkan.(fir.04)