Dampak lonjakan harga kedelai memang tidak boleh dipandang sebelah mata. Kedelai adalah kacang-kacangan ajaib. Ia menyuplai banyak khasiat yang dibutuhkan tubuh. Makanan berbahan baku kedelai juga tergolong murah, bisa dijangkau oleh mereka yang berpendapatan minim.
Sayangnya, dari rata-rata 2,4 juta ton kedelai yang kita konsumsinya dalam setahun, 60% di antaranya harus diimpor dari Amerika Serikat –negara penghasil kedelai terbesar di dunia. Panen kedelai dalam negeri hanya sanggup menyediakan 40% dari total kebutuhan nasional.
Blesssing in disguise dari heboh kedelai belakangan ini adalah munculnya kesadaran umum tentang betapa rawannya stabilitas pangan di negeri ini. Berbagai wacana pun lantas bermunculan. Wacana yang paling dominan, seperti yang diutarakan para menteri terkait, adalah memperluas areal penanaman kedelai dan menawarkan harga yang lebih menarik kepada petani.
Sepintas, ide tersebut kedengarannya menarik walaupun sebetulnya basi. Karena diskusi tentang pentingnya pengembangan pertanian kedelai sudah berlangsung lebih dari empat dekade. Pertanyaannya, apakah opsi tersebut masih layak untuk diambil? Barangkali tidak.
Meminta petani Indonesia untuk lebih giat menanam kedelai sama dengan menyuruh mereka membenturkan kepala ke robot-robot mesin pertanian Amerika. Petani kedelai Amerika, atau Argentina dan Brasil yang merupakan eksportir kedelai terbesar kedua dan ketiga di dunia, tidak bisa disaingi petani kita.
Petani Amerika memiliki dan mengolah rata-rata 113,3 ha lahan. Mereka menggunakan traktor-traktor berteknologi robot. Dengan menjual seharga sekitar Rp4.000 per kg (di tingkat petani) dan panen rata-rata 2,5 ton per ha per musim, mereka bisa meraup untung besar dan hidup layak menurut standar Amerika.
Petani kita? Mengharukan. Petani di Pulau Jawa hanya punya lahan rata-rata 3.000 m2 dan di luar Pulau Jawa 1 ha. Mereka rata-rata menggunakan cangkul dan hasil panennya jarang lebih dari 1,5 ton per ha. Dengan harga Rp4.000 per kg di tingkat petani, mau untung dari mana?
Kalau begitu, supaya petani tidak mutung, disubsidi saja harga jualnya? Ini pun bukan opsi yang sehat. Ingat, ekonomi subsidi rawan korupsi. Cara yang bijak adalah memberdayakan petani. Pemerintah harus menyediakan lahan yang cukup, dukungan modal, infrastruktur dan teknologi pertanian yang memadai, memilih komoditas yang unggul dan menghapus mata rantai perdagangan yang mencekik petani.
Masing-masing negara punya keunikan dan keunggulan. Indonesia unggul dengan sawit, kopi, kakao, melinjo, dan jengkol. Amerika tidak memiliki itu dan memilih impor daripada menanamnya di sana. Mereka tidak latah.
Sebagai bangsa, kita pun tidak boleh latah. Mustahil kita bisa memiliki semuanya. Yang perlu kita lakukan adalah mengembangkan apa yang menjadi keunggulan kita. Alam itu adil.(fir.02)